2.
Ciri-ciri khusus dalam pemilihan kata yang digunakan oleh :
a. Taufik
Ismail
Menurut Pradopo (1993:54) diksi adalah pemilihan kata
dalam sajak. Dalam Angkatan 66 tampak suatu gejala umum yakni lebih cenderung
kepada kalimat panjang, sederhana dan jelas. Pada puisi Angkatan 66 banyak
mengungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap kelompoknya
dan kecaman keras pada pihak yang dikritik, karena puisi Angkatan 66 yang yang
bertemakan protes sosial. Untuk pihak yang dikritik, para penyair menggunakan
kata-kata yang kasar atau umpatan.
...
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta
durjana
Bertahun-tahun lamanya
...
(Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
Sebaliknya untuk pihak yang dibela penyair menggunakan kata-kata yang manis
dan penuh pujian. Salah satu contohnya dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang
berjudul ”Rakyat”. Dalam puisi ini penyair menyebut bahwa rakyat adalah darah
di tubuh bangsa dan debar sepanjang masa. Rakyat mempunyai peranan penting bagi
negara.
...
Hari ini kita tangkap tangan-tangan
Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam
kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dengan suara lantang mempertasanamakan
Kawula Dukana yang berpuluh
juta
...
(Taufiq
Ismail, Kemis Pagi)
Denotasi
Menurut
Altenbernd dalam Pradopo (1987: 58), denotasi adalah artinya yang menunjuk.
Yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu,
disebutkan, atau diceritakan. Taufiq Ismail menggunakan denotasi pada puisinya
yang berjudul ”Kembalikan Indonesia Padaku”.
...
Kembalikan
Indonesia
padaku
...
(Taufiq Ismail, Kembalikan Indonesia Padaku)
Konotasi
Menurut
Pradopo (1987: 58), konotasi yaitu arti tambahannya. Yaitu kumpulan
asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari
seting yang dilukiskan itu. Misalnya dalam puisi ”Kemis Pagi” karya Taufiq
Ismail.
Hari ini kita tangkap tangan-tangan
kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan materei kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta
...
(Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
Pada puisi ini,
penyair mengajak pembaca untuk memberantas pemimpin yang semena-mena. Yang
menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan
rakyat.
b. W. S Rendra
SAJAK MATAHARI
Oleh: WS Rendra
Oleh: WS Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
wahai kamu, wanita miskin !
Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !
Yogya, 5 Maret 1976
Potret Pembangunan dalam Puisi
Potret Pembangunan dalam Puisi
ΓΌ Citraan dalam Puisi “Sajak Matahari”
Citraan
yang telah dianalisis pemakalah dalam puisi Sajak Matahari yaitu citraan
penglihatan, citra perabaan, citra gerak, dan citra perasaan.
1. Citraan Penglihatan (visual
imagery)
Citraan ini dapat dilihat pada bait pertama
dan baris ketiga dan keempat puisi tersebut.
…Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala…
Kemudian pada
bait ketiga puisi tersebut.
…Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia…
Dari beberapa penggalan bait puisi
tersebut diatas, dimana seorang penyair menginginkan bahwa apa yang ia rasakan,
juga dirasakan oleh pembaca mengenai semangatnya yang membara, bersahaja, yang
tak kenal lelah hingga dunia tergentar dan terbakar karena semangat itu.
2. Citra Perabaan (tactile imagery)
Citraan
pendengaran yang terdapat pada puisi ini yaitu dapat dilihat pada bait pertama
baris kedua.
…Menyentuh permukaan samodra
raya…
Kemudian pada bait ketiga baris
ketujuh yaitu.
…tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar
dunia…
Pada bait-bait ini dimana penyair memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa seseorang
harus memiliki keinginan dan kemauan yang besar untuk menggapai sesuatu, hingga
menjadi bara yaitu mengindikasikan semangat yang membara tidak kenal
putus asa.
3. Citra Gerak
Citraan
gerak dalam puisi karya WS Rendra ini yaitu terdapat pada penggalan bait
pertama dan ketiga yaitu sebagai berikut:
…Matahari bangkit dari
sanubariku…
…Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara…
keluar dari hutan belantara…
·
4. Citra Perasaan
Citraan ini pada puisi Sajak
Matahari dapat dilihat pada bait pertama yaitu.
Matahari bangkit dari sanubariku…
Disini
penyair menggunakan perasaannya sebagai penyampaian imajinya terhadap
gambaran-gambaran masa pembangunan, yang membuat ia mencoba bangkit dari
keterpurukan.
a. Chairil Anwar
KEPADA PEMINTA-MINTA
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengeerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dari segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengeerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dari segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Juni 1943
Pilihan kata
(diksi) dalam puisi “Kepada Peminta-minta” mempunyai efek kecewa, menyerah,
letih, terluka, sedih, berat, dan risau. Hal itu dapat terlihat dari
penggunaan kata: menyerahkan diri, tentang, luka, tercacar, meleleh,
menghempas, mengerang, merebah, menetas. Sedangkan adanya risau terlihat
dari apa yang di ungkap oleh penyair yaitu: mengganggu, menghempas, merasa
pedas dan mengaum di telinga. Selain itu, penyair juga menggunakan pilihan
kata yang menciptakan efek letih, menyerah, kecewa, terluka, dan risau.
Kesimpulan dari analisis gaya kata adalah puisi “Kepada Peminta-minta” selain
menggunakan kata konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan untuk mencapai efek
estetis.
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis memepercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Dari: Deru Campur Debu (1949)
Dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi seperti pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lain, kesedihan yang diungkapkan tidak memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat dalam, penyair ini tetap tegar. Demikian pula pada puisinya diatas. Di dalamnya tak satu pun kata ”sedih” diucapkannya, tetapi ia mampu berucap tentang kesedihan yang dirasakannya. Pembaca dibawanya untuk turut erta melihat tepi laut dengan gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar jauh. Gambaran tentang pantai ini sudah bercerita tentang suatu yang muram, di sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan menyusur semenanjung.
Satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan yang ada pada pilihan kata-katanya. Seperti juga pada puisi diatas, setiap kata mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya. Pada puisi diatas sang penyair berhasil menghidupkan suasana, dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi kita. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.
Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam, kata kelam sengaja dipilihnya, karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa mendatang, diucapkan dengan kata-kata penuh daya: desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat akan makna, yakni: dan kini tanah dan air hilang ombak. Puisi Chairil Anwar ini hebat dalam pilihan kata, disertai ritme yang aps dan permainan bunyi yang semakin menunjang keindahan puisi ini, yang dapat kita rasakan pada bunyi-bunyi akhir yang ada pada tiap larik.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis memepercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Dari: Deru Campur Debu (1949)
Dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi seperti pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lain, kesedihan yang diungkapkan tidak memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat dalam, penyair ini tetap tegar. Demikian pula pada puisinya diatas. Di dalamnya tak satu pun kata ”sedih” diucapkannya, tetapi ia mampu berucap tentang kesedihan yang dirasakannya. Pembaca dibawanya untuk turut erta melihat tepi laut dengan gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar jauh. Gambaran tentang pantai ini sudah bercerita tentang suatu yang muram, di sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan menyusur semenanjung.
Satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan yang ada pada pilihan kata-katanya. Seperti juga pada puisi diatas, setiap kata mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya. Pada puisi diatas sang penyair berhasil menghidupkan suasana, dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi kita. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.
Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam, kata kelam sengaja dipilihnya, karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa mendatang, diucapkan dengan kata-kata penuh daya: desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat akan makna, yakni: dan kini tanah dan air hilang ombak. Puisi Chairil Anwar ini hebat dalam pilihan kata, disertai ritme yang aps dan permainan bunyi yang semakin menunjang keindahan puisi ini, yang dapat kita rasakan pada bunyi-bunyi akhir yang ada pada tiap larik.
b. Sutardji
Calzoum Bachri
keindahan
dan tenaga ekspresif. Bunyi, di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas
yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan
menimbulkan bayangan angan yang jelas serta menimbulkan suasana yang khusus.
Puisi Sutardji sarat dengan permainan bunyi. Bunyi merupakan aspek yang dominan
dalam puisi Sutardji. Hal ini terlihat dalam puisi-puisi Sutardji
perulangan-perulangan bunyi seperti dalam mantra. Misalnya pada puisi berikut.
SEPISAUPI
sepisau luka
sepisau duri
sepikul dosa
sepukau sepi
sepisau duka
serisau diri
sepisau sepi
sepisau nyanyi
sepisaupa
sepisaupi
sepisapanya
sepisaupi
sepisaupa
sepisaupi
sepikul diri
keranjang duri
sepisaupa
sepisaupi
sepisaupa
sepisaupi
sepisaupa
sepisaupi
sampai pisauNya
kedalam nyanyi
Puisi di atas
memperlihatkan kemampuan Sutardji memanfaatkan bunyi secara maksimal. Dalam
puisi tersebut, bunyi lebih dominan, meskipun bunyi-bunyi itu muncul dari diksi
yang digunakan. Dalam puisi di atas, terdapat persamaan bunyi (rima) vokal /i/
pada akhir semua larik. Dalam puisi tersebut juga dominan adalah bunyi
aliterasi /s/ dan bunyi asonansi /a/, /u/, dan /e/
yang terdapat pada semua larik puisi. Di samping itu, terdapat pengulangan kata
/sepi/ pada awal larik yang menimbulkan bunyi anafora. Puisi berikut
juga menunjukkan hal yang sama.
Sutardji Calzoum Bachri memiliki
ciri khusus dalam penggunaan kata-kata khas seperti: ngiau, huss, puss, tiarap
harap, burung paling sayap, laut paling larut, tanah paling pijak, renyai,
sangsai, ngilu, puri pura-puraku, anu, bajingan, tai, pukimak, duri sepi, dupa
rupa, menyan luka, pot, pagut, dukangiau, duhai sangsai, waswas, o bolong, dan
sebagainya. Kata-kata yang dipilih Sutardji tersebut kurang lazim digunakan
dalam puisi Indonesia, dalam puisinya banyak kata-kata yang tidak bermakna
diberi makna baru; dan juga digunakan untuk mengungkapkan ungkapan yang
bersifat estetis.
Karya-karya Sutardji Calzoum Bachri
BATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
sedang lambai tak sampai. Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji ?
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
sedang lambai tak sampai. Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji ?
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
Aliran-aliran
yang terdapat dalam puisi sendiri (JUSMIATI RACHMAN)
Secara
keseluruhan aliran-aliran yang terdapat dalam puisi saya adalah aliran romantisme
dan realisme. Ini terlihat dari isi yang terdapat dalam puisi, kebanyakan
menggambarkan tentang kenyataan hidup dan keindahan. Sedangkan yang lainnya ada
juga yang melukiskan suatu keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya, aliran
ini menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif.
Contohnya pada puisi yang berjudul Ayah, puisi ini tercipta karena sesuai
dengan yang dirasakan oleh penulis yaitu kerinduan yang amat sangat terhadap
kepada almarhum ayah kandungnya.