Rabu, 21 November 2012

Ciri Khas


2.      Ciri-ciri khusus dalam pemilihan kata yang digunakan oleh :
                                                
a.      Taufik Ismail
Menurut Pradopo (1993:54) diksi adalah pemilihan kata dalam sajak. Dalam Angkatan 66 tampak suatu gejala umum yakni lebih cenderung kepada kalimat panjang, sederhana dan jelas. Pada puisi Angkatan 66 banyak mengungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap kelompoknya dan kecaman keras pada pihak yang dikritik, karena puisi Angkatan 66 yang yang bertemakan protes sosial. Untuk pihak yang dikritik, para penyair menggunakan kata-kata yang kasar atau umpatan.
...
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
...
(Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
Sebaliknya untuk pihak yang dibela penyair menggunakan kata-kata yang manis dan penuh pujian. Salah satu contohnya dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul ”Rakyat”. Dalam puisi ini penyair menyebut bahwa rakyat adalah darah di tubuh bangsa dan debar sepanjang masa. Rakyat mempunyai peranan penting bagi negara.
...
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dengan suara lantang mempertasanamakan
Kawula Dukana yang berpuluh juta
...
            (Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
Denotasi
            Menurut Altenbernd dalam Pradopo (1987: 58), denotasi adalah artinya yang menunjuk. Yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan. Taufiq Ismail menggunakan denotasi pada puisinya yang berjudul ”Kembalikan Indonesia Padaku”.
            ...
Kembalikan
            Indonesia
            padaku
            ...
            (Taufiq Ismail, Kembalikan Indonesia Padaku)
Konotasi
            Menurut Pradopo (1987: 58), konotasi yaitu arti tambahannya. Yaitu kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari seting yang dilukiskan itu. Misalnya dalam puisi ”Kemis Pagi” karya Taufiq Ismail.
Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
            Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
            Dan menaiki kereta-kereta kencana
            Dan menggunakan materei kerajaan
            Dengan suara lantang memperatasnamakan
            Kawula dukana yang berpuluh juta
            ...
            (Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
            Pada puisi ini, penyair mengajak pembaca untuk memberantas pemimpin yang semena-mena. Yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.

b.      W. S Rendra
SAJAK MATAHARI
Oleh: WS Rendra

Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.

Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !

Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.

Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !

Yogya, 5 Maret 1976
Potret Pembangunan dalam Puisi

ΓΌ  Citraan dalam Puisi “Sajak Matahari”
Citraan yang telah dianalisis pemakalah dalam puisi Sajak Matahari yaitu citraan penglihatan, citra perabaan, citra gerak, dan citra perasaan.

1.      Citraan Penglihatan (visual imagery)
Citraan ini dapat dilihat pada bait pertama dan baris ketiga dan keempat puisi tersebut.

…Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala

    Kemudian pada bait ketiga puisi tersebut.

Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia

Dari beberapa penggalan bait puisi tersebut diatas, dimana seorang penyair menginginkan bahwa apa yang ia rasakan, juga dirasakan oleh pembaca mengenai semangatnya yang membara, bersahaja, yang tak kenal lelah hingga dunia tergentar dan terbakar karena semangat itu.

2.      Citra Perabaan (tactile imagery)
Citraan pendengaran yang terdapat pada puisi ini yaitu dapat dilihat pada bait pertama baris kedua.
Menyentuh permukaan samodra raya…

Kemudian pada bait ketiga baris ketujuh yaitu.
tubuh mereka menjadi bara
   dan mereka membakar dunia…

            Pada bait-bait ini dimana penyair memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa seseorang harus memiliki keinginan dan kemauan yang besar untuk menggapai sesuatu, hingga menjadi bara yaitu mengindikasikan semangat yang membara tidak kenal putus asa.

3.      Citra Gerak
Citraan gerak dalam puisi karya WS Rendra ini yaitu terdapat pada penggalan bait pertama dan ketiga yaitu sebagai berikut:

…Matahari bangkit dari sanubariku…
…Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara…
·     
4.      Citra Perasaan
Citraan ini pada puisi Sajak Matahari dapat dilihat pada bait pertama yaitu.
Matahari bangkit dari sanubariku

Disini penyair menggunakan perasaannya sebagai penyampaian imajinya terhadap gambaran-gambaran masa pembangunan, yang membuat ia mencoba bangkit dari keterpurukan.

a.       Chairil Anwar

KEPADA PEMINTA-MINTA
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah
Mengeerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.

Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dari segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Juni 1943                                
Pilihan kata (diksi) dalam puisi “Kepada Peminta-minta” mempunyai efek kecewa, menyerah, letih,  terluka, sedih, berat, dan risau. Hal itu dapat terlihat dari penggunaan kata: menyerahkan diri, tentang, luka, tercacar, meleleh, menghempas, mengerang, merebah, menetas. Sedangkan adanya risau terlihat dari apa yang di ungkap oleh penyair yaitu: mengganggu, menghempas, merasa pedas dan mengaum di telinga. Selain itu, penyair juga menggunakan pilihan kata yang menciptakan efek letih, menyerah, kecewa, terluka, dan risau. Kesimpulan dari analisis gaya kata adalah puisi “Kepada Peminta-minta” selain menggunakan kata konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan untuk mencapai efek estetis.
SENJA DI PELABUHAN KECIL

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis memepercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap


Dari: Deru Campur Debu (1949)

Dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi seperti pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lain, kesedihan yang diungkapkan tidak memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat dalam, penyair ini tetap tegar. Demikian pula pada puisinya diatas. Di dalamnya tak satu pun kata ”sedih” diucapkannya, tetapi ia mampu berucap tentang kesedihan yang dirasakannya. Pembaca dibawanya untuk turut erta melihat tepi laut dengan gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar jauh. Gambaran tentang pantai ini sudah bercerita tentang suatu yang muram, di sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan menyusur semenanjung.
Satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan yang ada pada pilihan kata-katanya. Seperti juga pada puisi diatas, setiap kata mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya. Pada puisi diatas sang penyair berhasil menghidupkan suasana, dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi kita. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.
Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam, kata kelam sengaja dipilihnya, karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa mendatang, diucapkan dengan kata-kata penuh daya: desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat akan makna, yakni: dan kini tanah dan air hilang ombak. Puisi Chairil Anwar ini hebat dalam pilihan kata, disertai ritme yang aps dan permainan bunyi yang semakin menunjang keindahan puisi ini, yang dapat kita rasakan pada bunyi-bunyi akhir yang ada pada tiap larik.
b.      Sutardji Calzoum Bachri
keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi, di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas serta menimbulkan suasana yang khusus. Puisi Sutardji sarat dengan permainan bunyi. Bunyi merupakan aspek yang dominan dalam puisi Sutardji. Hal ini terlihat dalam puisi-puisi Sutardji perulangan-perulangan bunyi seperti dalam mantra. Misalnya pada puisi berikut.
SEPISAUPI         
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi

Puisi di atas memperlihatkan kemampuan Sutardji memanfaatkan bunyi secara maksimal. Dalam puisi tersebut, bunyi lebih dominan, meskipun bunyi-bunyi itu muncul dari diksi yang digunakan. Dalam puisi di atas, terdapat persamaan bunyi (rima) vokal /i/ pada akhir semua larik. Dalam puisi tersebut juga dominan adalah bunyi aliterasi /s/ dan bunyi asonansi /a/, /u/, dan /e/ yang terdapat pada semua larik puisi. Di samping itu, terdapat pengulangan kata /sepi/ pada awal larik yang menimbulkan bunyi anafora. Puisi berikut juga menunjukkan hal yang sama.
Sutardji Calzoum Bachri memiliki ciri khusus dalam penggunaan kata-kata khas seperti: ngiau, huss, puss, tiarap harap, burung paling sayap, laut paling larut, tanah paling pijak, renyai, sangsai, ngilu, puri pura-puraku, anu, bajingan, tai, pukimak, duri sepi, dupa rupa, menyan luka, pot, pagut, dukangiau, duhai sangsai, waswas, o bolong, dan sebagainya. Kata-kata yang dipilih Sutardji tersebut kurang lazim digunakan dalam puisi Indonesia, dalam puisinya banyak kata-kata yang tidak bermakna diberi makna baru; dan juga digunakan untuk mengungkapkan ungkapan yang bersifat estetis.
Karya-karya Sutardji Calzoum Bachri
BATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        batu mawar
        batu langit
        batu duka
        batu rindu
        batu janun
        batu bisu
        kaukah itu
                        teka
                                teki
        yang
        tak menepati janji ?
    Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
    hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
    seribu beringin ingin tak teduh.  Dengan siapa aku mengeluh?
    Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
    diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
    sedang lambai tak sampai.  Kau tahu
        batu risau
        batu pukau
        batu Kau-ku
        batu sepi
        batu ngilu
        batu bisu
        kaukah itu
                                teka
                        teki
                        yang
        tak menepati
                        janji ?
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten

 



Aliran-aliran yang terdapat dalam puisi sendiri (JUSMIATI RACHMAN)
Secara keseluruhan aliran-aliran yang terdapat dalam puisi saya adalah aliran romantisme dan realisme. Ini terlihat dari isi yang terdapat dalam puisi, kebanyakan menggambarkan tentang kenyataan hidup dan keindahan. Sedangkan yang lainnya ada juga yang melukiskan suatu keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya, aliran ini menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif. Contohnya pada puisi yang berjudul Ayah, puisi ini tercipta karena sesuai dengan yang dirasakan oleh penulis yaitu kerinduan yang amat sangat terhadap kepada almarhum ayah kandungnya.

TUGAS APRESIASI PUISI


Di bawah ini penyair-penyair yang sering menggunakan kata-kata warna

GADIS PEMINTA-MINTA
Oleh  :
Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

IBU KOTA SENJA
Toto Sudarto Bachtiar
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengarungi dan layung-layung membara di langit barat daya
0, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia
Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta keabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layung-layung senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa
Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas
0, kota kekasih setelah senja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
ODE    I
Toto Sudarto Bahtiar
katanya, kalau sekarang aku harus berangkat
kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
aku besok bisa mati, kemudian diam-diam
aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam
malam begini beku, dimanakah tempat terindah
buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
tanahku yang baru terjaga
malam begini sepi dimanakah tempat yang terbaik
buat peluru pistol di balik baju cabik
0, tanah di mana mesra terpendm rindu
kemerdekaan yang mengembara kemana saja
ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
engkau pada pilar derita, megah napasku di gang tua
menuju kubu musuh di kota sana
aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak
mungkin pacarku kan berpaling
dari wajahku yang terpaku pada dinding
tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
di tengah malam yang begini beku
teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
coretan-coretan merah pada tembok tua
betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
membesarkan hatimu yang baru terjaga
Kalau serang aku harus ergi, aku hanya tahu
kawan-kawanku akan terus maju
tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah dimana tempat yang terbaik buat hati dan hidupku

ODE     II
Toto Sudarto Bahtiar
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan derap langkah yang berat maju ke satu tempat
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan kegairahan hidup yang harus jadi dekat
berhenti menangis, air mata kali ini hanya buat si tua renta
atau menangis sedikit saja
buat sumpah yangtergores pada dinding-dinding
yang sudah jadi kuning dan jiwa-jiwa yang sudah mati
atau buat apa saja yang dicintai dan gagal
atau buat apa saja
yang sampai kepadamu waktu kau tak merenung
dan menampak jalan yang masih panjang
dengar, hari ini ialah hari hatiku yangmemanggil
mata-mata yang berat mengandung suasana
membersit tanya pada omong-omong orang lalu
mengenangkan segenap janji yang dengan diri kita menyatu
dengarlah, o, tanah di mana segala cinta merekamkan dirinya
tempat terbaik buat dia
ialah hatimu yang kian merah memagutnya
kala hdia terbaring di makam senyap pangkuanmu *
*kenangan buat matinya seorang pejuang

Batu Belah (kabaran)
    Amir Hamzah
Dalam rimba rumah sebelah
Teratak bambu terlampau tua
 Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi

Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja

Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.

Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk

Tiada sayang;
 
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta

Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta

Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
 
Menyata rupa mengasing kata

Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup
 
Ngeri berbunyi berganda kali

Diam ibu berpikir panjang
 
Lupa anak menangis hampir
 
Kalau begini susahnya hidup
 
Biar ditelan batu bertangkup

Kembali pula suara bergelora
 
Bagai ombak datang menampar
 
Macam sorak semarai rampai
 
Karena ada hati berbimbang

Menyabut ibu sambil tersedu
 
Meragu langsing suara susah:

Batu belah batu dertangkup
 
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
 
Sudan demikian kuperbuat janji

Bangkit bonda bedalan pelan
 
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela
 
Mengangkat kaki melangkah cepat
 

Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda

Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.

Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang

Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….

Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada

Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….

Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.



Permainanmu
Amir Hamzah
Kau keraskan kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih
Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata, terlihat terang
Kekasihmu ditindasnya terns
Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat
Kau pukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembali ke asal asli
Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kau tulis kau paparkan
Kau sampaikan dengan lisan
Bagaimana aku menimbang
Kau lipu lipatkan
Kau kelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu
Kau hamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka
Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul
TETEPI AKU
Amir Hamzah
Tersapu sutera pigura
dengan nilam hitam kelam
berpadaman lentera alit
beratus ribu di atas langit

Seketika sekejap mata
segala ada menekan dada
nafas nipis berlindung guring
mati suara dunia cahaya

Gugur badanku lemah
mati api di dalam hati
terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah

Cahaya suci riwarna pelangi
harum sekuntum bunga rahsia
menyinggung daku terhantar sunyi
seperti hauri dengan kapaknya

Rupanya ia mutiara jiwaku
yang kuselami di lautan rasa
Gewang canggainya menyentuh rindu
tetapi aku tiada merasa...

MABUK ~ Amir Hamzah


Ditayangan ombak bujang bersela
dijunjung hulu rapuh semata
dikipasi angin bergurau senda
lupakan kelana akan dirinya...

Dimabukkan harum pecah terberai
diulikkan bujuk rangkai-rinangkai
datanglah semua mengungkai simpai
hatimu bujang sekali bisai.

Bulan mengintai di celah awan
bersemayam senyum sayu-sendu
teja undur perlahan-lahan
mukanya merah mengandung malu.

Rumput rendah rangkum-rinangkum
tibun embun turun ke rumpun
lembah-lembah menjunjung harum
mendatangkan kayal bujang mencium.

Melur sekaki dibuaikan sepoi
dalam cahaya rupa melambai
pelik bunga membawaku ragu
layu kupetik bunga gemalai.

Bunga setangkai gemelai permai
dalam tanganku jatuh terserah
kelopak kupandang sari kunilai
datanglah jemu mengatakan sudah...

Bulan berbuni di balik awan
taram-temaram cendera cahaya
teja lari ke dalam lautan
tinggallah aku tiada berpelita.

     06 Nyanyian Kabir II
                                                                        Toto Sudarto Bachtiar
Ceritakan, undanku, kabaranmu kawi
Dari mana datangmu? Kemana terbangmu?
Di mana engkau berhenti melipat sayapmu?
Pada siapa engkau nyanyikan laguan malammu?
Kalau nanti pagi-pagi engkau terjaga, undanku
Terbang, melayang tinggi dan ikut jalanku.
Ikutkan daku ke negeri sana, mana susah dan was-was
Tiada mungkin bernafas, dan maut,
Malaikat hitam, tiada lagi memberi negeri
Musim cuaca lagi membunga di pucuk kayu
Harum panas ditebar angin sepoi:
Aku di dalamnya, ia di dalamku.
Kumbang hatiku menyelam dalam bunga
Dan tiada berhasrat lagi


 




















BUNDA


Bukan sesuatu selainnya.
Engkau bernama CINTA.

Bukan sesuatu seperti Selamat
atau ungakapan.
Hanya sesuatu
sepertimu juga.
CINTA..

*yang tak pernah tuntas & berbalas*

B-----
-U----
--N---
---D--
----A-

Getar Malam Rinduku


Ingin ku gali gundukan tanah itu
Dan mencabut papan nama setiap dukaku
Biarlah nafasku memeluk tentangmu
Pusi-puisi gelap menimangku

Sajak berairkan merangkulku
Dan merambatkan tiap ratap di sekitar gelapku
Seolah kau utus jangkrik untuk memejamkan lelahku
Nyanyi dahaga cerita tentang merindu
Seolah kau titipkan restumu
Lewat dingin malam menyuap

Mantra-mantra penghapus basah tatapku
Tiap dendang lantun mengiringi sendu
Seperti suara hati yang tersampaikan padaku

Menju kenangmu
Ini untukmu,itu buatmu, dan doa sebagai baktiku.

Selubung Kepalsuan


Aku diam tenang bagaikan air danau
tapi hatiku gelisah bagai ombak lautan
Sebab mulutku adalah kerang, dan
hatiku adalah mutiara berkilauan

Mutiara slalu tersimpan rapat dan tertutup
Ia takkan keluar dari cangkang jika--
tetesan air hujan belum lagi
menjadi senyuman bunga matahari

Jika engkau ingin melihat kilau mutiara,
tunggulah ombak pantai yang akan
membuka selubung kepalsuan kerang

Ia akan menjadi burung merpati
yang seolah terbebas dari jerat
Ia akan terbang bebas ke langit
seolah tak punya rasa takut lagi... 

BIOGRAFI MANSUR SAMIN


MANSUR SAMIN
Mansur samin adalah seorang penyair, teaterawan, juga beberapa kali terlibat dunia film. Mansur Samin merupakan adik kandung H. Ali Husin Samin Sirgegar – ayah Ahmad Samin Siregar. Samin merupakan nama kakek Ahmad Samin Siregar.
Mansur Samin lahir diBatangtoru, Tapanuli Selatan 14 mei 1945, beliau pergi meninggalkan banyak torehan karya yang termaktub pada sejumlah buku, antara lain kamus Bahasa Angkola/ mandailing-Indonesia(1978), kumpulan terjemahan sastra angkola/mandailing (1992), Morfologi dan Sintaksis Bahasa Nias  (1984), kamus isitilah seni drama (1985), kamus Karo-Indonesia (1985), khazanah, biografi sastrawan Sumatera utara (1986), struktur sastra lisan Melayu Serdang (1990) dan sastra lisan karo  (1993), apresiasi puisi (1994) dan Genta, Guru Besar dan Sarjana USU Baca Puisi, kumpulan Puisi dan Essay (1997).
Beliau juga banyak menulis drama dan cerita anak-anak. Karya-karyanya: Perlawanan (1966), Kebinasaan Negeri Senja (1968), Tanah Air (1969), Dendang Kabut Senja (1988), Sajak-sajak Putih (1996), Sontanglelo (1996), Srabara (1996). Ia juga banyak menulis cerita anak-anak, yaitu: Hadiah Alam, Hidup adalah Kerja, Kesukaran Terkalahkan, Percik Air Batang Toru, Warna dan Kasih, dan Urip yang Tabah.
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air 
PERNYATAAN
(Karya Mansur Samin)

Sebab terlalu lama meminta
tangan terkulai bagai dikoyak
sebab terlalu lama pasrah pada derita
kesetiaan diinjak
Demi amanat dan beban rakyat
kami nyatakan ke seluruh dunia
telah bangkit di tanah air
sebuah aksi perlawanan
terhadap kepalsuan dan kebohongan
yang bersarang dalam kekuasaan
orang-orang pemimpin gadungan
Maka ini pagi
dengan resmi
kamu mulai
aksi demonstrasi
Pernyataan ini
disahkan di Jakarta
kami 
Mahasiswa Indonesia

PIDATO SEORANG DEMONSTRAN
(Karya Mansur Samin)

Mereka telah tembak teman kita
ketika mendobrak sekretariat negara
sekarang jelas bagi saudara
sampai mana kebenaran hukum di Indonesia
Ketika kesukaran tambah menjadi
para menteri sibuk ke luar negeri
tapi korupsi tetap meraja
sebab percaya keadaan berubah
rakyat diam saja
Ketika produksi negara kosong
para pemimpin asyik ngomong
tapi harga-harga terus menanjak
sebab percaya diatasi dengan mupakat
rakyat diam saja
Di masa gestok rakyat dibunuh
para menteri saling menuduh
kaum penjilat mulai beraksi
maka fitnah makin berjangkit
toh rakyat masih terus diam saja
Mereka diupah oleh jerih orang tua kita
tapi tak tahu cara terima kasih, bahkan memfitnah
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara
apakah kita masih terus diam saja?


    NOVEMBER
Oleh : Mansur Samin
Seperti pelancong larut dari perjalanan jauh 
dibebani semua hasrat bermakna mimpi 
kami hadir di November ini 
membawa rahasia keharusan untuk ditanya 
dekatlah kemari ke denyut kehidupan ini 
dengar, dari kerinduan tanah air kami mulai
di tepi harapan sepanjang malam 
pertanyaan makin tumpul dalam diri 
adakah kepercayaan melahirkan pegangan 
sedang pasar, gudang , kantor dan pabean 
telah lam aluput tangkapan 
karena berlaku hukum kediam-diaman
Bukan tidak percaya kami bertanya 
sebab kami cinta apa yang kami yakini 
jangan biarkan kami sendiri 
mengadu pada arti November ini 
bukankah bertahun semua tarohan siap merana 
untuk kemenangan yang sama kita percaya
Seperti penanggung rindu kami datang kesampingmu 
minta disingkap tabir rahasia itu 
tuan-tuanlah pengemudi tanah air 
sari kehidupan hasrat mencari 
datanglah ke dapur kami ke baringan anak-anak kami 
gelap dan terang jelaskan o, para budiman 
dasar Kemerdekaan !
Bagaimana pula mendiamkan ini kenyataan 
kerna sarat oleh goda cobaan 
meri tegakan kesini ke November ini 
bersaksi jasa dan nyawa-nyawa yang pergi 
untuk kelanjutan nilai hari datang 
ini kepercayaan jangan tangguhkan tapi lajukan 
sebab nilai kenangan Indonesia 
berakhir pada arti dan jiwa
Gelora, No 19, Th III 
19 Maret 1962